Rabu, 24 Oktober 2012

5 alasan untuk menonton film Frankenweenie

Diposting oleh Unknown di 07.10
erupakan sebuah film animasi hitam putih yang merupakan versi panjang dari film berjudul sama yang dibuat oleh Tim Burton di tahun 1984.

Tim Burton adalah sosok sutradara legendaris yang telah memenangkan hati banyak penggemar film melalui karya-karya seperti “Edward Scissorhands” (1990), “Beetlejuice” (1988), “Ed Wood” (1994), “Big Fish” (2003), dan “Sleepy Hollow” (1999). 

Sutradara kelahiran California ini memang tak selalu berhasil meraih kesuksesan melalui film-filmnya. Namun, setelah mengecewakan para penonton dengan “Dark Shadows” yang habis dikritik pertengahan tahun ini, Burton kembali mengingatkan kita bahwa ia belum kehilangan sentuhan magisnya, melalui film “Frankenweenie”.

Ingin tahu lebih banyak tentang film animasi ini? Berikut adalah lima alasan untuk menonton “Frankenweenie”:

1. Frankenstein
Meski kisah “Frankenweenie” merupakan ide orisinal dari Burton, tapi terlihat jelas bahwa dasar kisah ini berutang banyak pada kisah “Frankenstein; or, The Modern Prometheus” yang ditulis oleh Mary Shelley dan diterbitkan di tahun 1818.

Meski demikian, Burton tidak hanya membuat terjemahan visual yang sekadar ingin menjiplak cerita dari Shelley. Justru, ia mengambil bagian-bagian ikonik dari kisah ini dan meraciknya dengan penceritaan sendiri. Film ini sangat menarik karena ia membuka kesempatan bagi kita untuk menyaksikan intepretasi baru dari sang “monster” klasik di tangan sutradara visioner ini.

Dalam “Frankenweenie”, melalui bentuk lain, penonton dapat menemukan diri Victor Frankenstein sang ilmuwan dalam Victor (Charlie Tahan) muda yang sangat suka bereksperimen serta makhluk ciptaannya dalam diri Sparky sang anjing kesayangan. 

Tak lupa, entah sengaja atau tidak, Burton juga menamai salah satu binatang peliharaan yang tampil di film ini dengan nama Shelley. Kebetulan atau sebuah penghormatan?Cuplikan adegan "Frankenweenie" (Dok. Disney)

2. Tim Burton
Bila Anda adalah penggemar karya-karya Tim Burton, “Frankenweenie” adalah film yang tidak boleh dilewatkan. Melalui film ini, Burton yang pulang ke akarnya dengan menampilkan animasi stop-motion yang gelap dengan cerita kelam kembali mengingatkan kita bahwa ia merupakan seorang pencerita ulung. Ia mampu memasukkan unsur horor, kematian, dan petaka, sambil tetap membuat film yang bernyawa dan memiliki hati.

Secara visual, “Frankenweenie” jelas membawa ciri khas yang kental dari sebuah film Tim Burton. Selain itu, “Frankenweenie” juga menampilkan kecintaan Burton yang sangat besar pada sinema. Dalam diri Victor Frankenstein, sang pembuat film cilik, kita dapat membayangkan bagaimana rasanya berada di dalam kepala Burton yang masih muda. Berbagai referensi yang ada dalam film ini juga membuat “Frankenweenie” menjadi sebuah surat cinta yang begitu indah pada film-film horor klasik.Cuplikan adegan "Frankenweenie" (Dok. Disney)

3. Referensi horor dan nostalgia
Bagi yang sudah biasa mengikuti film-film Burton, “Frankenweenie” akan banyak mengingatkan Anda pada film-film lawas Burton yang elemen-elemennya mendapat keterwakilan dalam film ini. “Frankenweenie” sendiri merupakan film hitam putih seperti “Ed Wood”, tokoh utama yang dihadirkannya merupakan sosok penyendiri yang dianggap tak biasa oleh lingkungan sekitar, rumah-rumah mungil dengan tamannya yang terawat rapi mengingatkan kita pada kota yang menjadi latar dalam “Edward Scissorhands”.

Dengan tetap menggunakan warna hitam putih, mereka yang sudah menonton versi live action “Frankenweenie” dari tahun 1984 juga bisa membuat perbandingan antara proyek lawas Burton tersebut dan proyek terkininya. Melalui berbagai pilihan dari sisi kreatif, kita seperti dibawa kembali menuju dasar, menuju inti dari gaya bercerita dan berkarya Burton seperti pada awal karirnya sebagai seorang pembuat film.

Tapi, “Frankenweenie” tak hanya merujuk pada film-film buatan Burton saja. Film yang punya aura nostalgia yang kuat ini juga memasukkan elemen-elemen cerita dari berbagai film horor seperti “Horror of Dracula” (1958), “The Mummy” (1932), “Daikaijû Gamera” (1965), “The Bride of Frankenstein” (1935), “Gremlins” (1984), dan tak lupa, “Frankenstein” (1931) dan kincir angin yang berdiri anggun di atas perbukitan kota New Holland.Cuplikan adegan "Frankenweenie" (Dok. Disney)

4. 3D yang apik
Beberapa orang mungkin tidak tertarik dengan “Frankenweenie” karena film hitam putih. Tapi, keputusan Burton untuk kembali ke warna monokrom sama sekali tidak mengurangi kualitas visual. “Frankenweenie” sendiri merupakan sebuah film animasi stop-motion dengan efek 3D yang sangat baik. Tanpa harus jor-joran menampilkan 3D sebagai efek tambahan dalam kisahnya, “Frankenweenie” tetap dapat secara efektif menggunakan format ini untuk memberikan kedalaman visual yang menekankan setiap bentuk, gradasi warna, dan bayangan dalam filmnya.

5. Cerita yang menyentuh
Tanpa sebuah kisah yang kuat di pusatnya, “Frankenweenie” hanya akan menjadi sebuah film kosong yang tak berkesan. Untungnya, di tangan John August, cerita “Frankenweenie” yang dahulu dibuat oleh Burton dapat kembali tampil sebagai kisah yang memikat meski kini memiliki durasi tiga kali lebih panjang.

Kerjasama antara Burton dan August membuat “Frankwnweenie” sanggup mengangkat topik yang begitu kelam sebagai cerita yang bisa dinikmati oleh penonton segala usia. Meski tidak semua bagian film ini selaras dengan pesan yang sudah terbangun di sepanjang film, namun hal itu tidak merusak kenikmatan menonton filmnya secara keseluruhan.

Kisah pesahabatan antara Victor dan Sparky membuat kisah dalam “Frankenweenie” begitu berwarna. Walaupun bercerita tentang kematian, “Frankenweenie” berhasil tampil sebagai sebuah film yang begitu hidup dan mengharukan.

Banyak film sudah mengajarkan bahwa kematian merupakan sesuatu yang sudah final, dan kemampuan untuk menerima rasa kehilangan yang begitu besar lebih baik daripada memupuk keinginan untuk membangkitkan sesuatu yang sudah tidak bernyawa. Para orang tua sudah belajar tentang pesan ini melalui “Frankenstein” dari Mary Shelley, dan anak-anak kini mungkin dapat belajar untuk menerima pesan yang sama dari “Frankenweenie” milik Tim Burton.

Bila masih tak yakin dengan “Frankenweenie”, bacalah ulasan dari kritikus film yang Anda percayai. Kalau Anda merupakan penggemar film horor klasik, film ini sangat asyik untuk disaksikan. Apalagi, karena “Frankenweenie” cocok untuk penonton yang masih kecil, Anda juga dapat berbagi pengalaman menyaksikan film ini dengan anak Anda.

Yang perlu diingat, karena “Frankenweenie” merupakan film hitam putih, anak-anak mungkin tak akan menganggapnya terlalu menarik. Tetapi, bila Anda masih ingin menontonnya, cobalah menyaksikan “Frankenweenie” dalam format 3D. Jangan lupa, selalu siapkan diri dan sesuaikan harapan agar tak kecewa saat ke bioskop nanti. Selamat menonton!

0 komentar:

Posting Komentar

 

fiori riviera Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos